MEDIAAKTUAL.COM – MAKASSAR :
Purbaya menunjukkan sisi nyentriknya dengan membalikan arah kebijakan, berani melawan arus demi menjaga marwah fiskal negara.
Ketika kebijakan pro-rakyat yang berani menantang status, maka muncul keberanian yang disebut nyentrik.
Nama Purbaya kini mencuat sebagai simbol keberanian di tengah birokrasi yang sering kali tunduk pada kepentingan modal.
Dibalik gaya komunikasinya yang lugas dan tak jarang tak konvensional, tersimpan satu hal yang membuatnya berbeda: keberpihakan.
Ia menolak tunduk pada kekuatan oligarki dan memilih jalan sulit—berpihak pada rakyat kecil serta menata ulang arah kebijakan ekonomi agar lebih berkeadilan.
Sikapnya yang baru-baru ini menolak penggunaan APBN untuk pembayaran proyek kereta cepat menegaskan hal itu.
Purbaya berpendapat bahwa utang dan pembiayaan besar semestinya tak membebani rakyat, melainkan dicarikan skema non-APBN yang lebih kreatif dan berkelanjutan.
Gaya ini mengingatkan publik bahwa disiplin fiskal bukan sekadar angka, melainkan moralitas dalam mengelola negara.
Aksi nyentrik ini langsung memancing beragam respons. Sejumlah ekonom menilai pendekatan Purbaya bisa menimbulkan ketegangan politik-fiskal di awal pemerintahannya.
Bhima Yudhistira, ekonom INDEF, dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia (Oktober 2025) menyebut bahwa langkah menolak pembayaran proyek strategis dari APBN adalah pesan kuat, tapi tetap perlu dijelaskan ke publik agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi investor.
Di sisi lain, kalangan pro menilai keberanian itu justru menandai babak baru pengelolaan keuangan negara yang lebih transparan. Mahfud MD, dalam unggahannya di media sosial X (5 Oktober 2025), menyebut Purbaya sebagai “warna baru dalam fiskal nasional—menolak utang sembarangan, menertibkan kebocoran dan menolak proyek berbasis gengsi”.
Gaya Purbaya ini juga memperlihatkan kesadaran bahwa kebijakan ekonomi tak bisa hanya diukur dari pertumbuhan, melainkan dari seberapa jauh ia menyentuh kehidupan rakyat.
Di tengah tradisi panjang kompromi dengan kepentingan besar, keberpihakan menjadi pilihan yang berisiko, tapi bermakna.
Dalam berbagai pernyataannya, Purbaya menegaskan bahwa fiskal bukan alat politik, melainkan kompas moral pembangunan.
Purbaya ingin memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan negara memiliki arah manfaat yang jelas, bukan sekadar proyek penyenang elite.
Namun, jalan ini tentu tak mudah. Kritik dari pelaku pasar dan sebagian politisi menunjukkan bahwa keberanian menolak status quo selalu menghadirkan konsekuensi.
Dunia usaha menuntut kepastian, sementara rakyat menuntut keadilan.
Menemukan titik seimbang antara keduanya adalah ujian bagi setiap pemimpin—dan Purbaya tampaknya memilih menghadapi ujian itu dengan gaya nyentriknya sendiri.
Jika langkah ini terus dijaga dengan konsistensi, Purbaya bisa menjadi figur yang mengubah paradigma ekonomi nasional: bahwa keberanian melawan arus bukan sekadar sikap eksentrik.
Tapi, jalan menuju kedaulatan fiskal yang berdaulat dan berkeadilan.(red)
PENULIS : Pemerhati kebijakan publik dan dinamika politik-ekonomi nasional
Mangasa Gowa Sulsel.
Langsung ke konten














