MEDIAAKTUAL.COM – GOWA :
Intrik politik adalah serangkaian tindakan, strategi, atau manipulasi yang dilakukan dalam dunia politik dengan tujuan tertentu, sering kali bersifat rahasia, licik, atau tidak langsung.
Intrik politik biasanya melibatkan manuver di balik layar, taktik memengaruhi, memanipulasi opini, atau memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Tujuan dari intrik politik bisa bervariasi, seperti mendapatkan kekuasaan, mempertahankan posisi, menjatuhkan lawan politik, atau mengamankan dukungan untuk kebijakan tertentu.
Dalam praktiknya, intrik politik sering kali dikaitkan dengan praktik-praktik yang tidak transparan atau bahkan tidak etis.
Abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan adalah tindakan seseorang yang memanfaatkan posisi, wewenang, atau kekuasaan yang dimilikinya secara tidak etis, ilegal, atau tidak adil untuk keuntungan pribadi, kelompok tertentu, atau untuk menindas orang lain. Penyalahgunaan kekuasaan sering kali terjadi dalam berbagai konteks, seperti pemerintahan, organisasi, tempat kerja, atau hubungan pribadi.
Berbagai pelanggaran yang merusak nilai-nilai demokrasi. Mulai dari politik uang, kampanye hitam, manipulasi data pemilih, hingga intimidasi terhadap pemilih, semua ini berpotensi mencederai integritas proses demokrasi.
Untuk mencegah dan menindak pelanggaran tersebut, penegakan hukum yang tegas dan adil menjadi kunci.
Politik uang atau *money politics* adalah salah satu pelanggaran paling sering terjadi dalam Pilkada. Para kandidat atau tim sukses sering kali menggunakan uang sebagai alat untuk membeli suara.
Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketidak-adilan dalam persaingan politik, tetapi juga menciptakan budaya korupsi yang sulit diberantas.
Menurut Pasal 187 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pelaku politik uang dapat dijerat dengan ancaman pidana hingga 6 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar. Namun, efektivitas penegakan hukum ini masih dipertanyakan, mengingat sulitnya pembuktian dan lemahnya pengawasan di tingkat akar rumput.
Selain itu, kampanye hitam (*black campaign*) juga menjadi isu serius. Informasi palsu, fitnah, atau ujaran kebencian kerap digunakan untuk menjatuhkan lawan politik.
Dalam era digital, penyebaran informasi bohong menjadi lebih mudah dan cepat, terutama melalui media sosial. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Pilkada memberikan dasar hukum untuk menindak pelaku, tetapi implementasinya sering kali terkendala karena adanya bias politik atau ketidakjelasan regulasi.
Manipulasi data pemilih, seperti penggunaan identitas palsu atau penghilangan nama pemilih tertentu, juga mencederai prinsip “satu orang, satu suara”.
Pelanggaran ini bisa dijerat dengan Pasal 488 UU Pilkada yang mengancam pelaku dengan pidana denda atau kurungan.
Namun, lagi-lagi tantangan utama adalah lemahnya sistem administrasi kependudukan dan pengawasan selama proses pemilihan. (Bersambung/red)
PENULIS : Dosen Universitas Pepabri Makassar